Meski banyak yang menyebut bahwa sektor logistik merupakan bisnis yang bertumbuh di masa pandemi selain industri kesehatan dan telekomunikasi, namun pada kenyataannya banyak juga pelaku bisnis logistik yang harus berdarah-darah demi tetap bertahan dalam kondisi saat ini.
Direktur Eka Sari Lorena Group (ESL Group), Eka Sari Lorena Soerbakti menyebutkan rata-rata perusahaan logistik kedepannya hanya mampu bertahan dalam waktu tiga sampai enam bulan saja.
“Kalau informasi dari organisasi (KADIN), rata-rata perusahaan logistik hanya bisa bertahan tiga sampai enam bulan kedepan. Tapi tidak semua bisa disamaratakan, bergantung pada masing-masing kemampuan perusahaan untuk bertransformasi,” sebutnya di webinar bisnis logistik bersama Logisly, Rabu (30/9/2020).
Faktor daya tahan perusahaan logistik dipengaruhi beberapa hal, seperti sasaran pelanggan, jenis usaha logistik yang dilakoni, dan jumlah cadangan modal yang dimiliki perusahaan.
“Saat ini banyak sekali perusahaan logistik yang terpaksa harus menggunakan tabungannya demi mempertahankan kondisi keuangan di tengah COVID-19,” lanjut Eka.
Dari curhatnya, bisnis ESL Group sekarang memang sedang mengalami penurunan angka pengiriman logistik via udara. Inline dengan kondisi maskapai yang juga mengurangi jumlah penerbangan mereka.
“Angka penumpang pesawat turun sekitar 90 persen, sementara untuk angkutan barang tergerus 70-80 persen. Maskapai penerbangan yang tidak beroperasi besar-besaran sangat mempengaruhi pengiriman lewat udara,” jelasnya.
Beruntungnya bisnis logistik ESL Group sejauh ini mayoritas berbasis angkutan logistik darat. “Jadi, memang yang bertahan signifikan saat ini melalui darat. Kami bekerja sama dengan KAI dan perusahaan lainnya untuk kolaborasi melakukan diversifikasi pada bisnis kami,” tuturnya.
Yang dikhawatirkan adalah perusahaan logistik yang jangkauan pelayanannya hanya terbatas pada kota atau wilayah tertentu, cakupannya tidak nasional. Kondisi ini tentu menjadi tantangan yang cukup berat.
Harapannya sendiri kepada Pemerintah agar bisa mengeluarkan kebijakan sejenis insentif di sektor logistik agar biaya operasional menjadi lebih terjangkau.
“Misalnya pengadaan truk itu beban biayanya besar sekali, bunganya juga sama seperti komersial. Hal lainnya seperti pengecekan kendaraan, KIR. Di luar negeri urus KIR gratis, tapi kalau di Indonesia KIR mahal dan harus antri,” tutupnya.
Dengan berbagai kebijakan yang pro pada bisnis logistik tersebut, tentu bisa semakin memperpanjang nafas dari pelaku bisnis logistik di Tanah Air.